Pulau Tidung (Catatan Perjalanan, bag-4)

Baru tujuh menit perahu yang kami tumpangi meninggalkan dermaga Cituis, perahu tampak melambat. Beberapa detik kemudian, ABK turun ke laut menggunakan kacamata renang. Ternyata, itu perintah Kapten perahu ini. "Terasa ada sampah yang nyangkut di bawah," terangnya. "Lagi-lagi soal sampah plastik," saya membatin. 

Lebih dari sepuluh detik, ABK itu menyelam tanpa alat bantu pernafasan. Hingga kepalanya nongol di permukaan air yang bisa dibilang keruh. Sangat keruh. Seperti lumpur cair. Kapten kembali ke tempat duduknya, menjalankan perahu perlahan. ABK masih di air. Ia berpegangan pada ban yang terikat tali di badan perahu. 

Kapten kembali melambatkan laju perahu. Ia perintahkan ABK untuk mengecek kembali bagian bawah perahu. Dengan sigap, ABK itu kembali menyelam. Beberapa detik kemudian, ia nongol ke permukaan. Memberi kode aman dan beres kepada kapten. 

Perahu kembali melaju. ABK masih di air berpegangan ke ban yang terikat tali di badan perahu sebelah kiri. Dianggap telah aman, sambil perahu melaju, ABK itu naik ke perahu. 

Menit-menit pertama, Wajah rombongan Rihlah terlihat sumringah. Naik perahu adalah sesuatu yang jarang sekali dilakukan. Begitulah kira-kira hukum alam: sesuatu yang baru dan sangat jarang dilakukan akan memberikan sensasi yang menyenangkan. 

Sayangnya, wajah sumringah ini, perlahan pudar. Sebab gelombang laut Jakarta mulai terasa. Saya jadi ingat tentang rencana Rihlah ini. Awalnya mau dilaksanakan akhir pekan. Tapi, setelah koordinasi dengan pihak penyeberangan dan pemandu wisata, keberangkatan kami akhirnya diputuskan di hari Senin. Penyebabnya, cuaca dan gelombang. 

Meski kata ABK gelombang yang kami rasakan saat itu biasa saja, tidak tinggi dan tidak ganas, tetap saja gelombang laut saat itu membuat perahu bergoyang, miring ke kiri ke kanan. Beberapa orang peserta Rihlah terlihat pucat. Bahkan sampai ada yang muntah. 

Soal mabuk laut ini, saya jadi ingat saat perjalanan ke Lombok. Ketika berada di selat Bali, kapal feri yang saya tumpangi pun bergoyang hebat. "Gelombang selat Bali memang terkenal dahsyat. Kalau pusing atau mulai mabuk, lihat saja ke laut," ucap salah satu ABK kapal Feri ke saya. "Atau kalau gak kuat, lebih baik pejamkan mata, atau tidur saja," lanjutnya. 

Beda lagi dengan "mitos" yang beredar. Beberapa orang tua di rombongan Rihlah ini bilang agar minum air laut biar tidak mabuk. Entahlah. Saya kira ini hanya soal kepercayaan dan keyakinan masing-masing terkait sugesti ke diri sendiri biar tidak mabuk laut. Alhamdulillah, untuk saya sendiri, karena saya suka dengan laut dan gelombangnya, saya sangat menikmati perjalanan ini. 

"Di sekitar sini, pesawat yang waktu itu diberitakan, itu jatuh," ucap ABK yang duduk di dekat saya. "Di antara pulau laki dan pulau .... (Saya lupa namanya, karea tidak saya catat)," lanjutnya yang kemudian bilang sekitar sebulan para penduduk di sekitar pantai tidak ada yang makan ikan. Pasalnya, beberapa hari setelah kecelakaan terjadi, beberapa nelayan mendapati potongan tubuh di jaring mereka. "Saat kecelakaan itu cuaca memang sangat gelap, bang,"lanjutnya.

Mendengar cerita ABK ini, saya langsung mengirimkan Al-fatihah untuk semua korban kecelakaan pesawat tersebut. 

Penasaran saya kambuh. Kali ini soal teknologi yang dipakai di perahu ini. Bukan soal mesinnya tapi soal navigasi dan petunjuk jalannya. Ternyata, meski ada kompas, tapi kapten perahu yang menakhkodai perahu ini tidak menggunakannya. Ia berpegangan pada pengalaman, firasat, dan intuisi saja. Bahasa Sederhananya: "feeling". Di perahu ini hal tersebut lebih canggih daripada GPS atau teknologi canggih soal navigasi lain. 

Ah, saya jadi ingat Gusdur dan Gusmus. Keduanya pernah bilang soal "rasa" atau intuisi ini. Kalau tingkatnya (maqomnya" sudah di level tertinggi, sesuatu yang dilakukan kadang tidak perlu menggunakan panduan dalil atau kaidah-kaidah tertentu. Misalnya soal i'rob dalam bahasa Arab. "Kenapa harus fathah, dhommah, atau kasroh, kalau di telinga ini terdengar ada yang sumbang atau gak enak kedengarannya, ini pasti bukan begini," ucap Gusmus. "Ternyata, setwlah dicek ke ilmu nahwu dan shorofnya memang bukan begitu," lanjut Gusmus. 

Hal ini, terkait dengan apa yang dijelaskan Imam Al-Ghazali tentang "basyiroh". Setiap orang punya ini. Hanya saja, ada yang melatihnya ada yang tidak. Pun, ada yang diberi hidayah, ada yang tidak. Siapapun yang menggunakan basyiroh dalam melihat sesuatu, biasanya akan kelair dari pandangan dan kaedah umum di masyarakat. Makanya, tak jarang dianggap nyeleneh. Dan bagi saya, Gusdur adalah salah satu yang menggunakan basyiroh dalam hal apapun. 

Termasuk dengan kapten perahu yang kami tumpangi Senin siang itu. Ia pun sepertinya menggunakan "basyiroh-nya" untuk urusan navigasi. Tentu saja itu berdasar pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran yang ia lalui sekian lama. Dan benar saja, ABK cerita lebih dari 27 tahun orang yang menjadi kapten ini bolak balik Cituis-Tidung. 

Ada hal tak terduga kembali terjadi. Di tengah perjalanan menuju pulau Tidung, kami melihat beberapa lumba-lumba ikut berenang beberap meter di samping perahu kami. Momentum itu direkam oelh salah seorang rombongan Rihlah di video HP-nya. Lagi-lagi ada mitos soal ini: "biasanya yang melihat lumba-lumba akan dapat keberuntungan karena hal ini sangat amat jarang terjadi," ucap ABK.

Meski langit terlihat mendung, Alhamdulillah hujan tak turun. Hingga pukul dua belas lewat tujuh menit perahu yang kami tumpangi merapat di dermaga Pulau Tidung sebelah selatan.

Bersambung...

Sawangan Baru, 14012022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)