Pulau Tidung (Catatan Perjalanan, bag-7)
Ya, bagi saya, Jembatan Cinta bukan satu-satunya pesona yang memikat dari Pulau ini. Sejarah pulau ini pun cukup menggoda rasa penasaran saya. Alhamdulillahnya, jaringan dan akses internet di pulau ini stabil, tak ada gangguan, jadi, sambil iseng duduk di pinggir laut di samping j mbatan cinta saya iseng Googling soal raja pandhita dan Panglima Hitam ini.
Dari penelusuran di google, saya dapati keterangan, di antaranaya: pertama, nama Pulau Tidung ternyata mirip dengan nama Suku Tidung di Malinau, Kalimantan Utara. Jejak sejarah ini terekam di sebelah selatan Pulau Tidung. Tepatnya di kompleks pemakaman bernama “Makam Raja Tidung XIII, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara di Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta”.
Juru kunci makam ini bernama Muhammad Nafsir. Dan, ia adalah keturunan Raja Tidung. Generasi kelima.
Kemudian, menurut buku The Hidden Treasury of the Thousand Islands, Raja Tidung yang makamnya ada di Pulau Tidung itu adalah seorang raja yang bernama Muhammad Sapu yang dinobatkan sebagai raja pada 1853 dengan gelar Panembahan Raja Pandhita.
Ketika ia memerintah, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kuala Malinau ke Kuala Kabiran. Raja Pandhita dikenal sangat menentang kolonial Belanda. Itulah sebabnya, ia dibuang ke Jepara. Ternyata di Jepara, Raja Pandhita bergabung dengan raja Jepara melawan Belanda.
Di Jepara ia diberi gelar Sekaca. Ia ditangkap lagi dan menjadi tawanan Belanda. Terakhir bersama dua pengawalnya ia dibuang ke Kepulauan Seribu pada 1892. Hingga wafatnya pada 1898, masyarakat pulau tak pernah tahu ia adalah seorang raja.
Sebab, Raja Pandhita di sini memperkenalkan dirinya sebagai Muhammad Kaca. Seorang pria yang rajin menolong sesama. Kebaikan itulah yang dikenang di masa itu. Bahkan, ia pula yang memberi nama Pulau Tidung.
Rupanya pemberian nama Pulau Tidung itu sekaligus sebagai penanda jejaknya. Karena nama itulah, masyarakat Malinau tertarik melakukan penelitian asal mula Pulau Tidung pada 2011, hingga kemudian ditemukan benang merah dengan Kerajaan Tidung.
Jembatan Cinta menghantarkan siapapun ke pulau Tidung kecil. Kata salahbsatu warga, selain terdapat pantai berpasir putih, pemberdayaan penyu dan mangrove, di sana pula terdapat makam Panglima Hitam. Makamnya berwarna merah, dan tetulis di batu nisannya: Panglima Hitam
Lagi-lagi warga yang saya tanya soal siapa Panglima Hitam, tak banyak mberi informasi. Lagi-lagi saya pun hanya bisa Googling. Dari penelusuran, saya pun tak banyak dapat informasi. Kisah Panglima Hitam hanya beredar dari mulut ke mulut, dan nyaris hanya menjadi mitos. L
Bahkan kisah Panglima Hitam yang tertera dalam buku The Hidden Treasury of the Thousand Islands juga tak menyajikan alur cerita yang cukup jelas. Sampai saat ini belum ada bukti sejarah yang menunjukkan secara pasti siapa Panglima Hitam ini.
Buku ini hanya mengutip kisah-kisah yang beredar di masyarakat setempat dengan berbagai versi, di antaranya cerita dari sesepuh Pulau Tidung, Djafar Arsy, yang dipercaya keturunan Panglima Hitam. Djafar mengatakan Panglima Hitam itu bernama Wa’turup yang berasal dari Sulawesi dan menjadi bangsawan dari Selangor, Malaysia.
Kisah lainnya menyebutkan, Panglima Hitam adalah seorang pendekar yang bergelar Ratu Pendekar Badui. Disebutkan pendekar Badui ini mengungsi ke Pulau Tidung untuk menghindari kejaran Syekh Maulana Malik Ibrahim. Namun, tak dijelaskan siapa Syekh Maulana Malik Ibrahim ini.
Jika merujuk catatan sejarah, maka Maulana Malik Ibrahim tak lain adalah Sunan Gresik. Hidup di abad ke-14, ia adalah Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Makamnya ada di desa Gapurosukolilo, Gresik.
Anehnya, di Pulau Tidung Kecil juga ada makam yang disebut-sebut sebagai pusaranya Syekh Maulana Malik Ibrahim. Bahkan ada enam makam syekh lainnya. Ramai orang datang beziarah ke makam-makam ini. Khusus ke makam Panglima Hitam, peziarah datang pada malam Jumat Kliwon.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar