Allahu A'lamu
(Catatan iseng tentang Ihya Ulumuddin bag-4)
Syaikh Abdulkarim Amrullah, ayahandanya Buya Hamka, dalam kitab Sullamul Ushul mewanti-wanti agar hati-hati ketika membaca Ihya Ulumuddin karena banyak hadis lemah. Karenanya, Kiayi Ghazi Mubarok, wakil pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, mengingatkan agar menyertai kitab Al-Mughni 'An hamli Al-asfar fi al-Asfar fi Takhriji maa fi Al-Ihya min Al-Akhbar karya Al-Imam Al-Iraqi, ketika membaca kitab Ihya karya Imam Al-Ghazali yang lahir di Thusia pada 450 H. atau 1058 M ini. Kitab ini dianggap masyhur untuk memberi penilaian teehadap hadits-hadits yang terdapat di kitab Ihya.
Sebelum melanjutkan membaca, mengaji, dan mengkaji kitab Ihya Ulumuddin yang ditulis Al-Ghazali di masjid Al-Umawi (di kota ini ada sudut yang hingga sekarang terkenal dengan nama "Al-Ghazaliyah"), pada 488 Hijriyah Ini, endilalah saya tertarik dengan cerita kehidupan sang pengarang dan bagaimana respons para ulama terhadap karyanya tersebut.
Imam Al-Ghazali yang bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-thusi Abu Hamid Al-Ghazali ini lahir di keluarga sederhana. Ayahnya seorang pembuat pakaian dari wol dan menjualnya di pasar Thusia.
Al-Ghazali belajar fikih ke beberapa guru. Di antaranya; Syeikh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani, Imam Abi Nasar Al-Ismaili, dan Imam Haramain Al-Juwaini. Al-Juwaini pernah mengatakan bahwa muridnya ini (Al-Ghazali) adalah lautan tak bertepi. Ini karena kecerdasan, kesungguhan, dan kedalaman pemahaman Al-Ghazali dalam mempelajari ilmu-ilmu agama.
Pada 484 Hijriyah, Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di universitas Nizamiyah di kota Baghdad (Irak) oleh menteri Nizamul Muluk pemerintah dinasti Saljuk. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, sepertinya, selama mengajar di situ, Al-Ghazali seperti melihat kekeliruan para ulama yang terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu ulama fikih, ulama mutakallim (teologi), dan ulama filsafat. Semua ulama tersebut tak bisa disatukan. Terlebih ketika bersentuhan dengan penguasa dan politik.
Setelah 4 tahun mengajar, Al-Ghazali pada 488 Hijriyah memutuskan untuk hijrah. Hingga ia sampai dan akhirnya menetap di masjid Al-Umawi. Pada masa inilah ia menulis Ihya Ulumuddin.
Perlu menjadi catatan, Islam adalah agama terbuka terhadap semua ilmu dan pemikiran, pada abad kedua dan ketiga, terutama pada permulaan Daulah Bani 'Abas, banyak pengetahuan bangsa lain yang diterjemahkan ke bahasa Arab, terlebih filsafat dan pemikiran Yunani. Karenanya Al-Ghazali melihat banyak ulama telah dipengaruhi filsafat dan pemikiran Yunani ini, terutama pemikiran Aristoteles. Ditambah, kekeliruan para ulama tadi, Al-Ghazali pun akhirnya menganggap bahwa ilmu-ilmu agama telah mati. Dan inilah di antara alasan Al-Ghazali menamakan kitabnya dengan Ihya Ulumuddin. Alias menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.
Tak hanya fikih, Al-Ghazali pun mendalami ilmu lain, seperti ilmu Kalam (teologi) dan ilmu filsafat.
Untuk ilmu Kalam, Al-Ghazali pe nah bilang ilmu ini punya bahaya yang besar dibanding manfaatnya. Hingga ia membuat risalah berjudul Iljamu Al-'Awam, pengekang orang awam.
Untuk ilmu filsafat, setelah mendalaminya Al-Ghazali membuat beberapa kitab, di antaranya; Al-Munqidzu min Al-Dholal (Pembangkit dari lembah Kesesatan), Maqashid Al-falasifah (Tujuan para Filosof), dan Tahafut Al-falasifah (kerancuan para Filosof).
Al-Ghazali bisa dibilang ulama yang menyeimbanhkan antara teologi dan syariat. Hingga ia pernah bilang: syariat tanpa hakikat layaknya tubuh tak bernyawa dan hakikat tanpa syariat ibarat nyawa yang tak punya tubuh.
Pada tulisan sebelumnya, saya pernah cerita soal kisah di kalangan para santri tentang barokah kitab Ihya dan bagaimana seorang Qadhi yang hendak membakar kitab Ihya. Ternyata, ada cerita yang lain mengenai ini.
Diceritakan, di masa Sultan Yusuf bin Tasyfin di Magribi di Faz (Fez), para fuqoha kesal dan murka ke Al-Ghazali karena kritiknya terhadap ulama fikih. Para ulama fikih itu mengadu ke Sultan lalu meminta agar kitab Ihya dibakar. Hampir serupa dengan kisah sebelumnya, bedanya, justeru kerajaan Bani Tasyfin runtuh dan digantikan oleh Muhammad bin Taumrut, yang tak lain adalah murid Al-Ghazali. Kerajaan Taumrut terkenal dengan kerajaan Muwahhidin.
Filsafat Imam Al-Ghazali dikenal dengan Aliran Filsafat "madzhab Hissiyat" alias madzhab perasaan. Dan sepertinya ini diikuti oleh filosof Inggris, David Hume yang pernah menyatakan bahwa perasaan menjadi alat terpenting dalam filsafat. Saat itu David Hume memang menentang aliran rasionalisme, yang muncul di abad ke-18, yang semata-mata berdasar pada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.
Madzhab Perasaan Imam Al-Ghazali sepertinya lebih mengarah pada "dzauq" atau intuisi sebagai alat yang menangkap khowathir (lintasan ide, Ilham) untuk "melihat" sesuatu. Pasalnya, Al-Ghazali menegaskan tentang perlunya kembali kepada "dharuriyat" (aksioma) dan hidayah untuk menjadi hakim dari akal dan perasaan.
Banyak para pemikir dan filosof yang terpengaruh oleh Al-Ghazali. Termasuk pemikir dan filosof barat. Misalnya Descartes dengan "syak (keraguan)" atau skeptisismenya. Mengenai ini Al-Ghazali pernah bilang syak, skeptis itu tangga menuju yakin.
Kemudian karya Thomas a Kempis (1379-1471 M), "De Imitation Christi" yang jika diteliti, isinya mendekati Ihya. Tentu saja dari sudut pandang pendidikan Kristen.
Tak heran, karya-karya Al-Ghazali banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Misalnya Dominicus Gundisalvus yang menerjemahkan Maqashid Al-Falasifah ke dalam bahasa Latin pada akhir abad ke-17. Termasuk ke bahasa Indonesia.
Misalnya Syaikh Abdus Somad Al-Falimbani di ujung abad 18 yang mengambil intisari kitab Ihya dan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia (Melayu lama) dengan nama "sairus salikin". Syeikh Hasyim Asy'ari dan Syekhona Kholil Bangkalan pun pernah menerjemahkan kitab Ihya ke bahasa Jawa dengan menggunakab penulisan Arab pegon.
Selain dipelajari dan diteliti karya-karya Al-Ghazali pun tak jarang mendapat kritik.
Pada 1924, Zaki Mubarak di Mesir, mendapat gelar Doktornya setelah membuat disertasi yang mengeritik "Akhlak" dan "Tasawuf Islam" Al-Ghazali.
Ibnu Rusyd (1126-1198 M) yang bergelar filosof Cordova di Andalusia pun ikut mengeritik Al-Ghazali. Filosof asal klub sepak bola Real Madrid ini membantah Al-Ghazali tentang Filsafat dengan mengarang kitab "Tahafutu-Tahafutil Falasifah".
Terlepas dari semua itu, Al-Ghazali saya kira menjadi salah satu ulama terpenting bagi umat Islam. Ini seperti pendapat Ds. Zwemmer yang menilai setelah nabi Muhammad, ada tiga tokoh yang sangat besar jasanya, yaitu: Imam Bukhari, Imam Al-Asy'ari, dan Al-Ghazali.
Oiya, ada satu hal menarik dari setiap karya dan tulisan Imam Al-Ghazali. Di akhir setiap tulisannya, Al-Ghazali selalu menulis Allahu a'lamu; Allah Yang Maha Paling Tahu. Karenanya, sebelum saya melanjutkan ngaji Ihya dan menutup cerita ini, saya ingin bilang: Allahu a'lamu bisshowab.
Sawangan Baru, 01052020
Komentar
Posting Komentar