Iri

(Catatan iseng)

Adik saya mengirim pesan lewat WhatsApp. Isinya soal iri. Ya, dia iri melihat teman-teman sebayanya yang masih punya ayah. Sementara adik saya ini, ditinggal meninggal ayahnya saat ia masih berusia 5 bulan. 

Mungkin sekilas, ia pernah melihat wujud ayah. Tapi, memori kecilnya tak sanggup menyimpan bagaimana sosok sang ayah. Terlebih bagaimana sikap dan kasih sayang seorang ayah padanya. 

Apa yang dirasakan adik saya ini, pun pernah saya rasakan. Melihat anak-anak lain dibela dan mendapat perlakuan spesial dari seorang ayah. Dan sungguh, ada luka di hati yang membuat air mata mengalir. 

Dan sepertinya, memang lazim siapapun (seorang ayah) akan lebih dulu memperhatikan anak kandungnya. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tak punya ayah. 

Sayangnya, kata yang nongol dari mulut adik saya adalah iri. Ia iri. Dari sini, saya tersontak. Dan pintu rasa Sera ruang memori dalam diri ini terbuka. Saya pun pernah merasakan itu. Dan sepertinya, kekurangan dan ketidakmampuan bisa melahirkan sifat dan hal tak elok. 

Dan sepertinya, bukan hanya adik saya, siapapun bisa iri ke siapapun dan apapun. Misalnya, melihat beberapa teman lebih dekat dan satu sama lain saling menganggap sahabat, sementara kita dianggap teman biasa saja, atau bahkan dianggap tak ada. Dan masih banyak lagi, hal yang bisa ujug-ujug melahirkan sifat iri. 

Saya sedikit sepakat dengan adagium; iri tanda tak mampu. Ketidaksepakatan saya terletak pada tak mampunya. Sebab, ketakmampuan berbeda dengan ketiadaan. Ketakmampuan seseorang berinteraksi sosial dengan baik berbeda dengan ketiadaan teman. 

Nah, ketiadaan ayah tentu berbeda dengan ketakmampuan memiliki seorang ayah. Hal ini saya tegaskan ke adik saya. Bahwa tak selamanya orang yang punya ayah hidupnya lebih baik. Bisa jadi, dengan ketiadaan seorang ayah, bisa membuat dan membentuk pribadi adik saya lebih kuat dan mandiri lagi. 

Termasuk sifat iri yang tiba-tiba hadir pada diri adik saya. Siapa tahu itu bagian dari penggemblengan mental adik saya untuk hidupnya ke depan. 

Nah, daripada meratapi ketidakmampuan dan ketiadaan sesuatu pada diri kita, kenapa tidak mengubahnya menjadi hal yang lebih ajib. Misalnya ya itu tadi, mengubah sifat iri menjadi cambukan untuk diri dan hidup lebih baik.

Iri ke teman yang bisa dekat bahkan menjadi sahabat, bisa diubah menjadi refleksi diri agar bisa mengubah sikap dan ucap kita lebih baik. Siapa tahu, mereka tak menganggap kita sahabat karena tingkah kita sendiri yang memang tak layak jadi seorang sahabat.  

Iri ke mereka yang punya ayah, bisa diubah menjadi; tak apa kita tak punya ayah, tapi orang lain jangan pernah merasa tak punya ayah. Kita mesti hadir untuk mereka. Dan seterusnya.

Wallahu a'lam bisshowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)