Rumus Bebersih

Rapi, berantakan lagi, dirapikan lagi, berantakan lagi, diberesin lagi. Begitu sunnatullah yang dialami pedagang kain. Mungkin juga pedagang lainnya. Buka toko, rapikan barang dagangan, pembeli datang, memilah milih, barang dagangan berantakan lagi, dirapikan lagi. Pun pekerjaan rumah; Bersih, kotor lagi, bersihkan lagi. Begitu juga cuaca dan keadaan; panas, adem, panas lagi. Begitu seterusnya. 

Hal kayak gini nempel erat di kehidupan. Siapapun tak bisa mengelak meski menggunakan jurus seribu langkah atau sejuta bacot. Bisa dibilang, hakikat kerjaan manusia tak lepas dari itu; merapikan yang berantakan, membersihkan yang kotor. Termasuk juga kesalahan dan kealfaan yang diperbuay.

Setiap hari ada aja kesalahan yang diperbuat, beruntungnya manusia dapet bonus berupa akal yang bisa ngasih tahu bagaimana menyikapi kesalahan; perbaiki dan pelajari. "Faatbi'issayyiata alhasanata tamhuha."

Dan sepertinya fitrah manusia bukan hanya terlahir dalam keadaan suci, tapi juga membawa potensi salah dan hal kotor yang tersembunyi hingga mencapai Akil baligh.

Secara fisik, lihat saja, di rambut ada ketombe, di muka ada jerawat bahkan bisul, di mata ada tahi mata alias belek, di hidung ada upil dan ingus. Di telinga ada congek. Bahkan di kulit yang halus sekalipun kalau digosok-gosok bakalan keluar daki. Padahal mandi dan luluran berkali-kali. Setiap hari. Bagaimana secara psikis, sepertinya tak luput juga dari hal kotor, bukan?

Nah, Maha Adil Tuhan, kotoran bawaan itu dibiarkan hingga seroang hamba mencapai Akil baligh. Ketika Akil dan baligh seseorang dianggap sudah bisa dan mampu untuk membersihkan kotoran-kotoran itu. Jadi, kotoran yang (katanya) dicatat sebagai dosa bisa dihapus. Tentu saja dengan menggunakan akal. Dan sungguh Maha Bijaksananya Tuhan, dikasih juga tips, trik, dan tata cara untuk membersihkannya. Salah satunya dengan agama. Malah dipertajam dengan perkataan: agama itu akal, gak beragama jika tidak berakal.

Nah, untuk mengasah akal ini, lagi-lagi Tuhan sungguh Maha Asik dengan mewajibkan manusia untuk belajar. Terus belajar. Dari lahir sampai mati. Ibarat kata, Tuhan tuh begitu demennya, manusia ketika kotor, dikasih alat untuk membersihkannya dan dikasih tahu juga cara membersikannya, dan itu buat kebaikan manusia sendiri. Ajib bukan?

Sekali lagi buat ngasa akal biar tajam, Tuhan mewajibkan untuk belajar. Sekali lagi; wajib! Ya, wajib. Ini bukan kebencian, apalagi kedengkian. Wajib yang jadi salah satu hukum dalam fikih ini bentuk cinta Tuhan kepada makhluknya. Hal-hal wajib itu memang untuk manusia sendiri, bukan untuk Tuhan. Misalnya, salat lima waktu, bisa jadi salat itu bukan untuk Tuhan tapi untuk kebaikan manusia sendiri. Pun hal-hal wajib lainnya; hakikatnya untuk  kebaikan dan perbaikan manusia sendiri.

Atau malah, hukum-hukum fikih lainnya, seperti Sunah, haram, halal, mubah, bisa jadi itu semua memang untuk kebaikan manusia sendiri. Boleh dibilang; salat, puasa, zakat, haji, termasuk meninggalkan larangan-larangan Tuhan, hakikatnya untuk manusia sendiri. Bisa jadi, Tuhan tidak butuh itu semua. Manusia mau salat atau engga, Tuhan tidak terpengaruh atas itu, justeru manusia lah yang terpengaruh. Tuhan tetap Maha Besar, Maha Asik, dan Maha Segalanya meski kita berbuat bejat sekalipun.

Lalu untuk apa semua itu, kalau ujung-ujungnya kembali dan untuk manusia sendiri? Sepertinya, Tuhan ingin setiap manusia ketika kembali pada-Nya dalam keadaan bersih dan baik. Ini Husnul Khatimah. Agar ketika kenikmatan tiada tara, saat bertemu, berjumpa dan melihat Tuhan, penciptanya, manusia benar-benar dalam keadaan bersih dan baik.

Allahu a'lamu bisshowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)