Jatuh Cinta; antara Sedih dan Riang

Jam empat kurang tujuh menit. Masih ada waktu sebelum imsak dan adzan subuh membekap mulut ini untuk menikmati kopi dan rokok. Sambil duduk di depan rumah, di atas bangku bambu, tentu saja sambil sesekali menyeruput kopi dan merokok, tiba-tiba ada kesedihan di satu sisi dan kegembiraan di lain sisi. 

Sedihnya karena saya semakin yakin akan kebodohan diri ini. Ya, betapa bodoh diri saya. Ternyata, banyak banget, tak terhingga hal-hal yang saya tidak tahu. Dan ketidaktahuan ini bisa menyebabkan kesalahan dan hal-hal fatal. Karenanya, saya memang mesti terus belajar dan belajar. Tanpa henti, sampai nanti.

Rasa ini muncul karena pengajian Ihya Ulumuddin yang saya ikuti di beberapa pengajian online dari awal Ramadhan tahun ini. Pemaparan para guru seperti gempa bumi yang menggoyang-goyangkan diri saya. Dalam guncangan itu, diri ini jelas mendengar; hai Irfan yang bodoh, terus belajar. 

Ya, saya mesti bersyukur dan berterimakasih pada Allah karena sentuhan gaib Tangan-Nya membuat saya memilih kitab Ihya Ulumuddin yang fenomenal ini untuk mengisi masa-masa uzlah dan berdiam diri di rumah saat pandemi cofid-19 menjadi hantu menakutkan dan teroris gaib yang mematikan. 

Dan saya sedikit membenarkan, uzlah atau berdiam diri di rumah, menyendiri, tentu saja dengan mengurangi kegiatan di luar rumah, menawarkan tak sedikit hal yang bermanfaat. Malah, dari kesendirian itu bisa melahirkan hal yang istimewa. 

Misalnya, Friederich Wilhelm Nietzsche yang membuat karya fenomenal dan monumental, Zarathustra. Karya ini ia buat ketika ia mengasingkan diri di puncak pegunungan Alp, di Sils Maria. Atau Kiekergard, salah satu tokoh filsafat eksistensialisme yang banyak merenungkan soal eksistensi manusia dalam kesendiriannya. Bahkan, Nabi Muhammad mendapat Wahyu pertamanya ketika tengah beruzlah di gua Hira. 

Saya yang sangat bodoh ini, dan tentu saja belum bisa melahirkan hal-hal yang luar biasa seperti mereka, hanya bisa belajar untuk memperbaiki diri yang banyak salah dan dosa ini ketika uzlah dan memenuhi anjuran pemerintah untuk menyukseskan PSBB. Ya uzlah ini menjadi wadah untuk saya berintrospeksi. Dan Kitab Ihya Ulumuddin menjadi pacar yang aduhai untuk menemani kesendirian ini. 

Kitab yang pernah bahkan banyak dikritik oleh para ulama karena banyak terdapat hadits lemah di dalamnya, perlahan menimbulkan suka. Tak lama, berubah sayang. Dan perlahan timbul cinta dalam diri saya untuk kitab ini. Ketika saya hampir jatuh pada cinta (yang) buta, seorang guru mengingatkan saya agar menyertai kitab karya Al-Imam Al-'Iraqi yang berjudul "Al-Mughni 'An al-Asfar fi al-Asfar fi Takhriji maa fi Al-Ihyaa min Al-Akhbar". Singkatnya, kitab ini bisa menjadi rujukan untuk melihat kualitas hadits-hadits yang digunakan Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Kitab Ihya ini, konon setelah selesai ditulis dan disebar oleh pengarangnya, Imam Al-Ghazali ini, bermimpi bertemu Rosul. Dalam mimpinya, Al-Ghazali menyetor karyanya itu kepada Rosul yang kemudian membacanya, dan tak lama, Rosul meridhoi. Ya, kitab ini perlahan membuat saya jatuh cinta. Walaupun di dalamnya banyak hadits lemah. Meski konon, karena banyaknya hadits lemah di kitab ini, seorang Qadhi atau hakim di kota Mekah memerintahkan masyarakat untuk mengumpulkannya untuk dibakar.

Setelah terkumpul, di malam sebelum eksekusi pembakaran tersebut dilakukan, sang Qadhi bermimpi didatangi Rosulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Al-Ghazali sendiri. Bagi beberapa orang, mimpi bertemu Rosulullah, Muhammad, adalah anugerah tak biasa, tapi bagi Qadhi Mekah ini, mimpi tersebut menjadi musibah. Pasalnya, dalam mimpi tersebut, keenam orang yang mulia tersebut mencambuk punggung sang Qadhi karena keinginannya membakar kitab Ihya Ulumuddin ini. Setelah bangun, sang Qadhi melihat punggungnya dan melihat ada enam luka bekas cambukan, menjadi takut yang luar biasa. Setelahnya eksekusi pembakaran kitab ini pun dibatalkan. 

Sungguh, cerita yang ajib. Karenanya, di kalangan santri ada cerita tentang keberkahan bagi mereka yang punya kitab Ihya Ulumuddin ini di rumahnya. Antara lain, rumahnya akan Allah hindari dari musibah kebakaran. Sungguh ajib, bukan?

Walau banyak yang bilang jatuh cinta itu kadang tak butuh logika, tapi bagi saya justeru kemampuan Al-Ghazali menggunakan filsafat dan tasawuf dalam meneroka 'al-'Uquulu Al-Syar'iyyah di kitab inilah yang membuat perlahan saya jatuh cinta. 

Ya, banyak hal logis dan filosofis dalam kitab ini. Misalnya, bagian ketiga dalam kitab ini yang membahas tentang hal-hal yang merusak alias Al-Muhlikat, dibangun setidaknya atas landasan logis seperti ini; bagaimana seseorang bisa selamat jika ia tidak tahu hal-hal yang merusak? Bagaimana seseorang akan "bener" jika ia tidak tahu yang "keblinger"? Sungguh logis, bukan? 

Rokok saya matikan. Seruputan kopi terakhir untuk pagi ini tuntas dilaksanakan. Dari kejauhan, terdengar waktu imsak sudah masuk. Itu artinya saya mesti bersiap-siap untuk melepaskan segala hal yang bisa membatalkan puasa. Beberapa saat lagi waktu subuh akan datang. Dan cerita jatuh cinta ini saya akhiri dengan mengucap hamdalah lalu niat untuk berpuasa hari ini dan menegaskan bahwa kegembiraan akan mengiringi kesedihan. Pun sebaliknya. 

Sawangan Baru, 29042020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)