Tadabbur Medsos

Tak jarang saya dibuat melongo ketika diskusi dengan teman soal pola penyebaran berita dan informasi hoax.

Ia bilang, berita hoax dibuat oleh oknum tertentu dengan maksud tertentu. Lalu dibuatlah konten atau isinya. Dan tugas para buzzer lah untuk memviralkan. 

informasi dan berita itu kemudian diterima orang-orang. Dan sangat disayangkan, tanpa disaring atau dicek ulang kebenarannya informasi dan berita itu langsung disebar ulang. Terutama lewat lewat WhatsApp yang memfasilitasi bisa dibuat grup dengan beranggotakan 200 orang lebih.

Setelah tersebar, beberapa orang di grup yang bersikap sama; tidak mengecek ulang, akan melakuka hal yang sama; asal sebar.

Seringkali saya dapati pola seperti ini; sebuah informasi masuk ke grup WhatsApp. ketika ada yang memberitahu itu berita hoax, dalih yang sering dipakai adalah; "makanya saya share di group ini, apakah benar atau tidak informasi ini." Dan dengan santainya, "makasih ya atas konfirmasinya." Dan begitulah seterusnya hingga asal sebar itu menjadi lumrah dan hal biasa. (Ah, tepok jidat deh.)

Sekilas, isi alias konten berita dan informasi hoax itu, seakan benar dan bermanfaat. Jadi, wajar siapapun akan langsung menganggap itu sebuah kebenaran dan layak serta patut disebarluaskan. Kewajaran ini seperti pohon besar tua yang rapuh di pinggir jalan: mesti ditumbangkan karena membahayakan!

Ya, di zaman digital ini selain mendapat kemudahan untuk mengakses dan menerima informasi, kita pun mulai kehilangan sikap dan berpikir kritis seperti mereka yang kritis di rumah sakit. Mesti segera mendapat pertolongan dan bantuan medis. Sebab ini penyakit.

Mestinya, apapun yang kita terima, mesti dicek ulang kebenaran dan kevalidannya. Melakukan ini sepertinya mudah. Caranya ya lewat internet juga. Cari kebenarannya. Cari kevalidannya. Setelah dicek kebenarannya, silakan kalau mau disebar. Jangan terburu-buru sebar. Ingat? Terburu-buru salah satu perbuatan setan, bukan? 

Ya, sepertinya yang mulai pudar dari kehidupan kita saat ini pun adalah sabar. Bukan hanya dompet menipis, kita pun mesti sabar untuk tidak langsung menyebar berita dan informasi yang masuk ke gawai kita. Ayo, sabar sebelum sebar. Seperti kata Gus Nadirsyah Husein, ketua PCI NU Australia; saring sebelum sharing. 

Terkait dengan itu, Ketua Ansor Rembang mengirimi saya pesan lewat WhatsApp. Isinya link fikih.id yang memuat tulisan dari sahabat saya Tidjany Abu Na'im. Judul tulisannya 4 Mazahib Fikih. 

Di antara isi tulisannya yang ciamik dan aduhai itu, membahas soal ketersambungan sebuah sanad keilmuan. Ya, saya sepakat dengan ini. 

Dalam proses keilmuan, sanad dan ketersambungan (ittishol) itu menjadi mutlak dan penting. Karenanya dalam tradisi pesantren hal itu terus dijaga; para santri bertatap langsung dengan Kiayi. Kiayi pun begitu, menyampaikan apa yang disampaikan oleh kiayi-kiyai dan guru-guru beliau hingga sumber pengetahuan itu sampai ke Baginda Rosul. Itulah ilmu. 

Karenanya dalam ta'lim muta'alim wa thoriqotu atta'alum, kitab dasar yang dipelajari oleh santri baru di tiap pesantren, menekankan aspek ketersambungan (ittoshol) ini, yaitu dengan menjadikan murid bertatap langsung dengan guru sebagai syarat dan salah satu etika alias adab dalam belajar.

Nah, di zaman digital ini, meskipun akses bertemu langsung ini bisa dipangkas dengan kemajuan teknologi, setidaknya ketersambungan ini mesti terus terjaga. Maksudnya, informasi apapun yang masuk ke smartphone kita mesti dicek kembali sumbernya. Setidaknya kita sadar apapun yang kita sebar memiliki dampak dan efek samping. Ini seperti disinggung oleh Kiayi Husein Muhammad yang bicara soal tadabbur. 

Di salah satu media sosialnya, Kiayi Husein Muhammad, pendiri Rahima Cirebon, menulis soal arti tadabbur.

Beliau bilang tadabbur biasa diterjemahkan dengan “merenungkan” atau “memerhatikan”, dengan sungguh-sungguh. 

Para ahli bahasa memaknai “tadabbur” sebagai: “melihat akibatnya”. Ia tidak sekedar memikirkan, merenungkan atau memerhatikan makna yang terkandung di dalamnya, melainkan lebih dari itu memikirkan gunanya, manfaatnya dan madaratnya, atau dampak positif dan negatifnya, baik dan buruknya. 

Kiayi Husein mengutip Al-Jurjani yang mengatakan : 

هو عبارة عن النظر فى عواقب الامور. وهو قريب من التفكر. الا ان التفكر تصرف القلب بالنظر فى الدليل والتدبر تصرفه بالنظر فى العواقب 

“Al-Tadabbur adalah memikirkan akhir masalahnya. Ia seperti “tafakkur” memikirkan), tetapi “tafakkur”, mengarahkan akal/hati memahami tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk, sedangkan “tadabbur”, mengarahkan akal atau hati kepada akibat atau akhirnya”.

Nah, sikap ini seperti air minum bagi mereka yang kehausan. Pun seperti tidur bagi mereka yang kantuk berat. Pun seperti kentut bagi mereka yang mules. Yaitu Melihat dampak dan efek dari apapun yang kita sebar di media sosial. Tentu saja itu mesti menggunakan akal dan hati. Kita masih punya akal dan hati, bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)