Ketika Teduh Pagi Perlahan Pergi

(catatan Iseng perihal mukadimah Ihya Ulumuddin bag-3)

Kokok ayam dan cuit burung-burung mengisi pagi yang masih remang. Jam enam kurang tujuh belas menit. Rambatan sinar matahari belum sampai ke depan rumah. 

Dari tempat duduk saya, di atas bangku bambu, halaman begitu teduh. Tapi di beranda rumah ini, justeru seperti ada badai dalam diri saya. Badai itu bernama Ihya Ulumuddin.

Goncangannya begitu dahsyat. Padahal saya baru membuka mukadimahnya. Kata-kata pengantarnya.

Dalam ilmu balaghah, alias ilmu yang mempelajari bagaimana mengolah kata dan kalimat dalam Bahasa Arab, ada istilah "baroatu al-isti'lal", yaitu kemampuan dan keterampilan penulis atau pengarang untuk memilih kata-kata atau kalimat-kalimat sebagai pembuka tulisan yang itu sesuai dengan apa yang ingin disampaikan dalam tulisannya. 

Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab yang berisi 40 sub-bahasan ini sungguh aduhai memainkan "baroatu al-isti'lal" ini. ulama kelahiran Thusia, sebuah kota di Khurasan, pada 450 H atau 1058 Masehi ini pun seperti seperti matahari yang piawai menyebarkan sinar ke halaman di depan rumah saya yang mulai terang. 

Di fitur jam pada Handpone saya tertera pukul enam lewat dua belas menit. Ternyata, untuk menulis tiga paragraf saja, saya butuh lima belas menit lebih. Sungguh memalukan. 

Al-Ghazali memulai mukadimahnya dengan memuji Allah dengan pujian yang terus menerus. 

Dari sini saja saya menangkap kelihaian sekaligus kesadaran penulis atas apa yang ditulisnya. Kenapa kata terus menerus yang digunakan? 

Di kalimat selanjutnya penulis menegaskan perihal pujian manusia yang tak sebanding dengan keagungan Allah.  Alias, pujian yang diucapkan seseorang itu sangat kecil dibanding dengan Kemaha-Besaran Allah. Karenanya, pujian itu mesti terus menerus diucapkan. 

Goncangan pertama yang saya rasakan pagi ini adalah kekuatan logika Al-Ghazali dalam memilih kata-kata. Dan kata-kata itu tentu saja untuk menguatkan iman dan tauhid pembaca bahwa hanya Allah Maha Paling Besar. Selain-Nya sangat kecil. 

Saya jadi teringat nasihat Kiayi Idris Djauhari (Allahu yarhamhu wa yagfir lahu) ketika menjelaskan kalimat takbir. 

"Takbir, alias Allahu Akbar itu sebenarnya, hakikatnya, untuk menegaskan bahwa manusia, makhluk, dan apapun yang ada dalam bumi dan langit adalah kecil. Sangat kecil. Hanya Allah Yang Maha Paling Besar," jelas Kiayi pondok pesantren Al-Amien Prenduan yang wafat beberapa tahun yang lalu. 

Edilalah, pikiran saya tiba-tiba mengarah kepada mereka yang selalu mengucap takbir tapi itu hanya untuk menegaskan bahwa kebenaran hanya milik mereka. Milik kelompok mereka. Kelompok yang merasa paling benar.

Pasalnya frasa takbir ini tak jarang diucap ketika ada seseorang yang ceramah (biasanya pemimpin atau ustadz dari kelompok tertentu) yang isinya menjelek-jelekkan serta menyalahkan mereka yang berbeda. Astagfirullah. 

Terlebih, sepertinya pernah terjadi di negeri ini; meneriakkan takbir sambil mementung manusia lain. Meneriakkan takbir sambil merusak fasilitas milik orang lain. Meneriakkan takbir lalu mencela dan menjelek-jelekkan orang lain. Astagfirullah.

Pikiran saya teralihkan kembali oleh kalimat pembuka Al-Ghazali yang ibarat sinar matahari. Cahayanya mulai membuat jelas bumi halaman rumah di depan saya. 

Takbir, yang saya tangkap dari penjelasan Kiayi Idris adalah untuk menyadarkan diri masing-masing. Untuk introspeksi. Melihat ke dalam diri sendiri. Bukan ke orang lain. Dan ketika seseorang sudah sadar bahwa dirinya sangat kecil di hadapan Allah, maka sepatutnya untuk terus mendekat kepada Yang Maha Paling Besar.

Al-Ghazali menegaskan agar manusia terus menerus memuji Allah. Karena ya itu tadi, tak cukup pujian kita untuk menandingi kebesan dan keagungan Tuhan. 

Edilalah, ada keisengan menyentil diri saya. "Jangan-jangan kenapa Al-Ghazali menggunakan kata terus menerus, agar mulut saya sibuk dengan mengucap pujian ke Allah. Jangan-jangan Al-Ghazali ingin agar saya menghindari gibah, fitnah, dan omongan-omongan yang tak bermanfaat?" 

Halaman di depan rumah semakin terang. Sepertinya teduh akan hilang dan tuntas. Ini berarti waktu bagi saya memejamkan mata untuk sekadar memenuhi hak tubuh yang berbentuk; tidur. Dan semoga catatan iseng perihal mukadimah Ihya Ulumuddin bisa saya teruskan nanti.

Allahu a'lamu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)