Kora-kora Tuhan
Anak-anak berteriak. Berkali-kali. Suara mereka memecah sore yang hampir lengang. Beberapa orang keluar rumah. Termasuk saya; ingin tahu ihwal yang buat mereka berteriak dengan teriakan yang sungguh-sungguh.
Ternyata mereka tengah menikmati permainan "Kora-kora". Semacam ayunan. Bentuknya mirip perahu. Tapi itu motor bak yang disulap sedemikian rupa hingga menjadi wadah permainan anak-anak. Mirip odong-odong yang suka memutarkan lagu anak-anak.
Seroang laki-laki mengayun kota-kota buatannya itu dengan gesit dan lincah. Semakin keras teriakan anak-anak, dia semakin semangat menngayunkan kora-kora yang berisi enam orang anak. Teriakan enam anak tersebut ternyata cukup ampuh menarik perhatian orang-orang di dalam rumah.
Dari enam anak itu, ada yang terlihat pucat. Dia teriak, tapi tetap berusaha menikmati setiap ayunan kora-kora. Anak yang lain, berusaha tenang, meski tak menampik mukanya pun pucat. Dan sesekali ia pun ikut teriak. Selain teriak, posisi tangan mereka pun sama; memegang kuat dan erat pegangan di depan bangku yang mereka duduki.
Sepertinya, memang perlu seperti itu; kita perlu teriak dan berpegangan pada sesuatu dalam menghadapi apapun yang disebut persoalan. Tapi tetap dengan Keriangan. Kegembiraan. Karena hakikatnya semua adalah permainan. "Innamal hayatu la'ibun wa lahwun". Hidup adalah permainan.
Tak jarang permainan melahirkan teriakan, membuat muka pucat. Menimbulkan rasa takut. Melahirkan kekhawatiran bahkan kepanikan. Seperti pandemi cofid-19 saat ini.
Beberapa toko tutup, tak sedikit aktifitas ekonomi yang dibatasi. Malah, tak sedikit yang sudah tak kerja lagi. Dan tentu saja efeknya tak ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Beberapa orang mewanti-wanti bahwa tindak kriminal dan kejahatan akan meningkat, karena urusan perut tak terpenuhi.
Ya, beberapa hal menakutkan dan mengkhawatirkan mulai nongol. Seperti anak-anak tadi, ada yang karena dikuasai ketakutan dan mesti melampiaskan lewat teriakan. Dan ini wajar. Ini ekspresi. Tapi, yang perlu diingat adalah pegangan tadi.
Jika terkait rejeki, pegangan kita tentu kepada Tuhan. Inilah iman. Jika kita ragu akan rejeki dari Tuhan, sepertinya perlu dipertanyakan kadar keimanan yang lockdown di diri kita.
Memang, rejeki itu takdir mu'allaq. Hal yang mesti kita upayakan dan usahakan. Tapi hakikatnya, siapapun pasti ada rejekinya.
Bagi mereka yang masih ada kerjaan setidaknya masih lumayan aman. Beda dengan mereka yang sudah tak ada kerjaan lagi, mungkin ini jadi kekhawatiran yang beda. Terlebih ketika mesti berdiam diri di rumah. Sebagian, mungkin akan menganggap tak bisa berbuat banyak, bahkan tak bisa ngapa-ngapain.
Nah, karena hakikat rejeki itu dari Tuhan, kenapa tidak berpangku tangan kepada Tuhan? Tentu saja tanpa melupakan ikhtiar. Di sinilah perlunya kreatifitas. Kreatifitas agar tetap produktif meski tetap di rumah saja. Sepertinya tak sedikit yang bisa dilalukan di rumah. Misalnya, berdagang online. Kalau mentok di modal, ada sistem dropship. Dan lain sebagainya.
Apapun, walau menakutkan, mengkhawatirkan, dan membuat panik, pucat bahkan memaksa mulut untuk berteriak, ketika kita punya pegangan kuat, apapun bisa terlewati. Dan namanya permainan, pasti akan ada akhirnya. Dan tentu saja terselip harap di kantong doa setiap kita; permainan cofid-19 ini segera berakhir lalu menyisakan kegembiraan setelahnya. Meski saat bermain ada ketegangan dan teriakan, tapi kita tetap punya pegangan; Tuhan.
Sawangan Baru.
Komentar
Posting Komentar