tafakkur dan tadabbur medsos (bag-2)



(Catatan iseng)

Detik jam dinding terdengar. Pukul satu lewat lima menit. Kipas angin berputar. Gerah tak kunjung hilang. Beberapa hari ini hujan tak datang. Sepertinya tengah liburan. Atau ia tertahan oleh doa orang-orang. Lantaran sebagian mengira, musim panas kan menahan penyebaran cofid-19. Hingga tak jarang, mereka berjemur di bawah matahari jam sepuluh siang. Kata dokter itu menyehatkan. Tapi tak cukup membantai virus asal Wuhan. 

Sejak nongol ke permukaan, berbagai informasi berseliweran di media sosial. Terutama WhatsApp. Sebagian benar. Sayangnya tak jarang yang menyebar kebohongan. Sungguh, memilukan. Padahal cofid-19 ini membahayakan. Tak hanya kesehatan, nyawa pun bisa melayang. Tercatat puluhan hoax bertebaran di media sosial terkait cofid-19. Dan sayangnya lagi, informasi itu menyebar cepat lewat mereka yang suka asal sebar. Tak perlu konfirmasi lagi, tak perlu dicek lagi, hoax-hoax itu layaknya berita kematian yang perlu langsung diumumkan. Sungguh, sangat disayangkan.

Andai saja setiap orang mau sabar sebelum sebar. Informasi hoax itu pasti seperti orang yang susah buang air besar. Andai saja setiap orang mau mengecek kembali kebenaran dan validitas informasi yang datang, berita hoax pasti akan kesepian di sudut ruang paling jalang. Ah, di kamar hening ini, malam ini, saya beruntung sekali karena tak ada larangan untuk berandai-andai. Detik mam dinding masih terdengar. Pukul satu lewat dua puluh satu. 

Tiba-tiba ada keisengan datang. Pertanyaan soal tingkah mereka yang asal sebar. Padahal informasinya masih subhat. Tak jelas sumber dan rahim asal kelahirannnya. Apakah karena kata-kata yang menggugah, atau karena dianggap informasi itu istimewa, entahlah. Sepertinya, tak sedikit yang tak mau bertafakkur dan bertadabbur dalam bermedia sosial. Padahal Al-Quran berkali-kali bilang: afala yatafakkarun, afala yatadabbarun. 

Memang ada perbedaan antara tafakkur dan tadabbur. Tafakkur ini akar katanya al-fikr. Dalam al-Quran disebutkan sebanyak 18 kali. 
Tentu saja dengan berbagai redaksi; fakkara satu ayat, tatafakkaru satu ayat, 
tatafakkarun tiga ayat, yatafakkaru dua ayat, dan yatafakkarun sebelas ayat. Tafakkur 
Lebih kepada mengarahkan akal/hati memahami tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk. Misalnya, ketika datang informasi ke WhatsApp. Jika tafakkur, yang dilakukan orang-orang adalah megecek kebenarannya. Cari sumbernya. Kritisi redaksi bahasanya. Dan aktifitas lainnya sebelum menyebar ulang alias menyebarluaskan informasi yang masuk ke gawai kita itu. 

Begitupun dengan tadabbur. Kata ini pun berkali-kali disebut dalam Al-Qur'an. Bedanya dengan tafakkur, terletak pada aktifitas melihat akibatnya. Seperti pendapat Ibn Atiyah yang bilang tadabbur itu melihat akibat sebuah perkara dan tafsir dari sesuatu. Pun Al-Baghawy yang bilangtadabbur itu melihat akhir sesuatu. Begitu juga dengan Zamakhsyari yang bilang tadabbur itu merenungkan dan memperhatikan akhir sesuatu dan apa yang ditimbulkannya. 

Pukul dua kurang Lim menit. Kipas angin masih berputar. Gerah tak kunjung hilang. Kata tafakkur dan tadabbur terus menjadi keisengan saya begitu nyalang. Kali ini terkait redaksi alias diksi yang digunakan dalam Al-Qur'an untuk menyebut kata tafakkur dan tadabbur. Diksi yang sering digunakan adalah "afala"; afalaa yatafakkarun. Afalaa yatadabbarun. Yang artinya; apakah (mereka) tidak berfikir. Afakah (mereka) tidak melihat dampak dan alibatnya. ini indah sekali. Terlebih jika ditambah tanda tanya di akhirmya. 

Ini bentuk kritik Al-Qur'an yang aduhai. Padahal ini kata perintah. “Apakah tidak”, seperti bentuk kritisisme al-Qur’an yang sangat tajam. Setajam silet, entah. Al-Qur'an seperti tengah menyindir kita yang tak mau berpikir. Al-Qur'an seperti tengah memancing kepekaan kita untuk merenung dan memperhatikan kehidupan. Dalam ilmu sastra Arab kata "apakah tidak (Afalaa) ini disebut “Istifham Inkari“. Jika diterjemahkan secara bebas alias bahasa sehari-hari, seakan-akan Al-Qur'an bilang; “hei, kalian, elu, anda, kok gak mikir?" "Kuy lah mikir dan pihak akibat dari yang diperbuat!". Termasuk sebar menyebar informasi yang nongol ke gawai. "Please deh. Jangan asal sebar. Sabar sebelum sebar. Pikirin dan renungin dulu kalau itu asal disebar, kira-kira efeknya apa!"

Terkait tafakkur dan tadabbur, Al-Jurjani pun bilang; “Tadabbur itu memikirkan akhir masalahnya. Ia tampak seperti tafakkur yang mengarahkan akal atau hati memahami tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk. Tapi tadabbur, lebih pada mengarahkan akal atau hati kepada akibat atau akhirnya."

Gerah tak kunjung hilang. Jam dua lewat tiga belas menit. Kipas angin masih berputar. Kedua mata masih menatap layar gawai. Melihat kedua jempol menekan huruf-huruf untuk paragraf penutup; "apakah kita masih punya akal dan hati? Apakah kita masih mau asal sebar informasi?"

Sawangan Baru, menjelang pagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)