Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Pasar Itu Bernama Demokrasi

Jika masa-masa Pemilu tiba, maka muncullah pedagang-pedagang dadakan. Ibarat jamur di musim hujan. Ada yang bisa dimakan dan buat perut kenyang. Tak sedikit pula yang beracun. Kalau pun tidak mematikan, setidaknya mual, muntah, dan kejang-kejang bisa jadi pembuktian. Pedagang-pedagang ini, menjual hal yang sama: dirinya sendiri. Karena dagang terkait ekonomi, maka teori-teori ekonomi pun dipakai. Obral dengan diskon gede-gedean sering menjadi jurus sakti yang diandalkan. Terutama yang berkaitan dengan kebutuhan calon pembeli. Jika yang dibutuhkan pakaian, para pedagang akan memberikan pakaian. Mulai pakaian yang menutupi aurat, nyaman di badan, hingga yang membuat si pemakai tampak lebih menawan. Jika yang dibutukan rumah, para pedagang akan menawarkan material-material yang bisa digunakan. Jika yang dibutuhkan pangan, pedagang pun akan lihai menawarkan urusan-urusan perut. Tak ketinggalan kebutuhan rohani. Biasanya ini soal agama dan keyakinan. Para pedagang pun dengan sigap menyiapk...

Rayap-Rayap Penggerogot Agama

Segala sesuatu mesti punya landasan. Ibarat ceker ayam untuk pondasi sebuah rumah. Jika tak ada, gampang roboh walau yang dorong anak TK. Begitu juga dalam beragama. Mesti ada landasan kuat. Sayangnya, ada dua landasan yang tidak disukai Allah dalam sikap dan beragama seseorang. Bahkan orang yang berlaku demikian disebut orang yang menggerogoti asas-asas agama (tazalzul qowa'id diinihi). Hal ini disampaikan KH. Muhammad Abdul Mujib, wakil rois suriyah NU Depok pada pengajian malam kamis di Majelis Ratib, Maulid, dan Ta'lim Ittihadussyubbaan Sawangan Baru Depok. Kiayi Mujib menjelaskan hal tersebut dari kitab "An-Nashoihu Ad-Diniyyah wa Al-Washoya Al-Imaniyah" karya Al-Habib Abdullah Bin Alawi Al-Haddad yang dikaji dan dipelajari di majelis pimpinan KH. Ahmad Fakhruddin Murodih, salah satu pengurus LDNU PBNU. Orang yang seperti rayap pada kayu, menggerogoti asas-asas agama adalah yang menggunakan dua hal berikut sebagai alasan dan landasan. Pertama, orang yang beral...

Nahdhotul Ulama. Selamat Ulang Tahun!

Nahdhotul Ulama (NU) hampir satu abad. Usianya saat ini 93 tahun. Kalau manusia, mungkin seusia dengan Kakek atau nenek saya. Bedanya, kebanyakan manusia, di usia segitu sudah kurang tokcer tubuhnya. Malah mungkin sudah mendapat gelar almarhum. Kalau NU sebaliknya. Sampai saat ini masih tubuhnya masih sehat. Batuk-batuk, gatal, dan flu sedikit tak soal lah. Masih wajar. Ada samanya juga. Kebanyakan manusia punya anak cucu di usia segitu. NU pun begitu, dari awal berdiri, akan selalu ada generasi penerusnya. Lah kok tiba-tiba di ulang tahun NU saya merasa sedih ya. Bukan karena saya tak terlibat dan masuk dalam struktur keorganisasian NU dari pusat hingga ranting. Tapi, seperti ada cermin besar di depan bola mata ini. Cermin yang memperlihatkan diri saya sendiri. Di cermin itu tertulis: apakah saya benar-benar NU? Warga NU itu bisa dilihat dari amaliyahnya. Tata cara ibadahnya. Penjagaan tradisinya. Menaati, menjalankan ajaran-ajaran ulama dengan sami'na wa atho'na. Bermadzhab...

Pendidikan Politik: Kullukum Ro'in wa Kullukum mas-ulun 'An Ro'iyyatihi

Selain isi, yang tak kalah seru di media sosial adalah komentar-komentar para netizen. Ini seperti korek kuping. Menggelitik. Tak perlu merogoh kantong untuk sekadar mencari hiburan. Lebih-lebih di masa-masa pemilu seperti saat ini. Di tahun yang oleh banyak orang disebut tahun politik. Saya sangsi. Saya lebih senang menyebut tahun kursi. Seperti ayat kursi. Suci. Punya sentuhan sakral dan magis. Pun punya kekuatan gaib seperti jimat milik seseorang yang mesti jauh-jauh dari toilet. Pemilu seperti bagian dari wudhu. Syarat untuk menjadi pemimpin. "Kullukum ro'in, wa kullukum mas-ulun 'an ri'iyyatihi". Ini perlu disadari. Setiap orang (laki-laki atau perempuan) adalah pemimpin. Pemimpin untuk diri dan hidupnya sendiri. Pemimpin seperti Rosulullah. Meski tak bisa dan tak mungkin bisa seperti Nabi Muhammad seutuhnya, setidaknya setiap orang bisa memberi "uswatun hasanah" kepada orang lain. Melakukan hal-hal baik, yang indah, yang bisa dijadikan tauladan b...

"Jaros", Penjara, dan Kebebasan

Kitalah Yang Membuat Penjara Seorang teman bercerita kepada Kulub tentang suntuk dan jenuhnya ia yang tak kemana-mana. Lebih dari seminggu ia tidak kelyar rumah. Aktifitasnya hanya berputar dari kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan paling jauh teras rumah. Ia ingin keluar. Ia ingin bebas. Pergi kemana-mana. Tapi tak bisa. Alasannya ia tak punya uang untuk kemana-mana. Ya, kemampuannya untuk bergerak dan pergi kemana-mana dibatasi oleh ada atau tidaknya uang di kantongnya. Kulub yang datang menemuinya, dengan senang mendengarkan. Lalu tertawa setelah mendengar semua keluh kesahnya.  Temannya kesal melihat Kulub tertawa. Sepertinya, ia berpikir Kulub menertawakan penderitaan dan kesengsaraannya. Namun, perlahan kekesalan itu berubah. Setelah Kulub bercerita tentang pikiran yang memenjarakan. Tentang penjara yang dibuat sendiri oleh pikiran manusia. Diselingi suara kendaraan yang lewat, teriakan anak-anak yang tengah bermain, dan teriakan pedagang menawarkan dagangan. ...

Melihat Kategori Manusia lewat Air

Ketika kecil, Kulub suka mandi hujan. "Maen ujan-ujanan". Berlari-larian di bawah hujan. Berdiri di bawah talang air atap rumah, seperti di bawah air terjun. Mencuci sepeda. Bermain tanah. Ah, betapa menyenangkan. Apakah air hujan kotor dan membawa penyakit, hingga harus dibilas? Bukankah hujan itu rahmat? Pertanyaan ini muncul belakangan ketika ia sudah tak kecil lagi dan mengingat ketika ibunya menyuruh Kulub mandi kembali dengan air sumur. Tentu saja di kamar mandi. Meskipun ia sudah mandi air hujan. Kata ibunya untuk "bilasan" biar gak sakit. Ketika di pesantren, Kulub diajarkan tentang macam-macam benda yang bisa digunakan untuk bersuci. Air salah satunya. Selain debu, batu, dan benda lain. Di antara syarat air yang bisa digunakan untuk bersuci adalah volume alias kuantitasnya. Yaitu mencapai dua qullah. Kurang lebih 192,857 kg. Jika diukur pada sebuah wadah, lebar, panjang dan dalamnya masing-masing sekitar satu "dzira'" atau sekitar 60 cm. Se...

Menjadi Manusia; Utuh dan Berdaulat?

Di bengkel mobil, seorang mekanik berpakaian kotor penuh noda oli dan tanah menegaskan kepada Kulub dan Kia, "sebelum jalan, sebaiknya mobil perlu dipanaskan. Biar olinya rata ke setiap sisi mesin, agar ketika dibawa jalan, mobil telah siap. Ibarat kata, mobilnya utuh sebagai mobil". Di taman Kota BSD, Kulub dan Kia bertemu seorang instruktur senam. Ia menegaskan sebelum berolah raga mesti melakukan pemanasan. Biar otot dan tubuh tidak kaget. Biar ketika olahraga, tubuh bisa utuh mengolah raganya. Di sebuah warung makan, seorang pelayan berteriak; ayam, ayam, ayam. Para pegawai warung makan tersebut paham betul, pelayan itu "latahan". Jika dikagetkan, akan spontan mengeluarkan kata-kata. Mengikuti kata-kata orang yang mengagetkannya. Tak jarang alat vital manusia disebutkannya pula. Di Kompas, pada Minggu 30 September 2001, Harry Roesli bercerita begitu lucu. Tentang tiga teroris lokal; Ojo, Buto, dan Momo yang ingin dikenal sebagai teroris internasional. Namun m...

Budaya Motong-Memotong

Melihat ramainya informasi tentang pidato Kiayi Said Aqil Siradj pada harlah Muslimat NU ke 73, Kulub malah teringat nasihat neneknya. Ya, ia ingat betul pituah neneknya. Nenek yang biasa ia panggil Nyai. Nyainya mengatakan tentang tiga tipe orang dalam bersikap. Pertama, orang yang suka. Kedua, orang yang cuek. Ketiga, orang yang tidak suka. Tipe pertama adalah mereka yang memang tidak ada kebencian dalam diri mereka. Ketika kita berucap, bersikap, atau melakukan apapun, mereka akan menyatakan iya jika setuju dan tidak jika tak setuju. Akan terjadi dialog. Terjadi pertukaran informasi dengan pikiran terbuka. Tipe kedua, adalah mereka yang tidak peduli dengan apapun yang kita lakukan dan ucapkan. Kita mau bagaimanapun, seakan tak ada hubungannya dengan mereka. Walaupun sebenarnya terhubung. Tak ada kebencian ataupun kesukaan dalam diri mereka ke kita. Nah, yang ketiga adalah mereka yang sering buat "pegel ati". Apapun yang kita lakukan dan ucapkan akan selalu salah di mata...

Betawi "Ora" dan Betawi "Be-Go"

Salah satu yang membedakan Betawi Sawangan dengan yang lain adalah ungkapan bahasa sehari-harinya. Ada tiga kata yang menunjukkan hal ini, Yaitu: "ora", "be", dan "go". Dan karena ini pula, Betawi Sawangan sering dikenal dengan "Betawi Ora", "Betawi be", dan "Betawi go". Selain itu dua kata; "be" dan "go" sering dipelesetkan menjadi "be-go". Tentu saja ini bukan intimidatif dan diskriminatif. Ini merujuk ke kata "be" dan "go". Justeru, di sinilah salah satu ciri Betawi: "asal gobleg". Orang Betawi dalam bicara seringkali terkesan ceplas ceplos. Namun, dibalik ceplas-ceplosnya, justeru tersimpan sebuah kebijaksanaan. Yaitu terletak pada pertimbangan apakah kata-kata yang diucapkan dengan "asal gobleg" itu akan melukai dan menyakiti orang lain atau tidak. Terkait kata "ora", kata ini sama dengan tidak atau enggak. Misalnya; "et dah, ora bawa ...

Jus

Manusia memang unik. Gara-gara Jus, Kulub dan Kia berdebat sekaligus mendapat ide hebat. Berawal dari Kia yang ingin minum jus belimbing. Dan Kulub pun latah, ia ingin juga. Tapi jus belimbing. Perdebatan pun dimulai. Kia ingin yang mudah dan cepat. Cukup beli di tukang jus, jadi. Kulub beda. Ia ingin buat jus sendiri. Alasannya, jus yang banyak diperdagangkan dan dijual di toko atau kios, kebanyakan air rasa buah bukan jus. "Jus itu sari, intipati dari buah atau sayur. Kalau ditambah air, gula, dan susu, bukan jus lagi," terang Kulub lalu meminta Kia memperhatikan jus-jus yang dijual. "Kebanyakan pedagang lebih menawarkan rasa daripada faktor kesehatannya," lanjut Kulub. Untuk satu kemasan jus, buah yang diblender tidak utuh satu. Biasanya setengah, bahkan kurang. Nah, karena rasa jus yang mesti manis, ditambahkanlah gula atau susu sekenanya. "Bukannya konsumsi jus, yang ada malah konsumsi air gula rasa buah ditambah susu," tegas Kulub. "Kalau ma...

Lompat-lompatan

Sejak TK sampai SD saya sering diceritakan tentang betapa menyeramkan dan menakutkannya alam gaib. Terlebih yang sering disebut terkait, setan, genderuwo, iblis, jin, kuntilanak, dan hantu-hantu lain. Padahal, dalam Islam ada Allah, Malaikat, akhirat, surga, neraka, kodo, kodar, dan hal-hal lain yang masuk ke dalam kategori dunia gaib. Termasuk ide, pikiran, kebenaran, hayal, fantasi dan akal yang sebenarnya masih masuk dalam ranah alam dan dunia gaib. Malah, dunia, alam, dan hal-hal gaib menjadi salah satu rukun iman. Salah satu hal yang menopang keimanan saya. Sayang, lantaran seringnya saya dijejali dengan hantu-hantu kala itu, walhasil di otak ini dunia gaib identik dengan dunia hantu. Setidaknya saat itu. Nah, salah satu hantu yang sering diceritakan adalah pocong. Hantu ini mirip orang yang dibungkus kain kafan. Tentu saja orangnya sudah meninggal. Walau terkadang ada orang yang masih hidup dibungkus kafan. Biasanya terkait sumpah pocong. Lagi-lagi, dikaitkan dengan pocong. Da...

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-11)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-11) (Sistem sastra Sufi Melayu dan kenaikan rohani) Kata pengantar dalam setiap karangan Sufi Melayu yang berisi sembahyang dan zikir (doa dan pujian) kepada Allah memberikan tiga ciri khas dalam karya sastra Sufi Melayu. Pertama, karya sastra yang memperlihatkan keindahan yang teratur dan merdu. Karya yang serasi dengan jiwa atau hati yang menimbulkan jawaban yang sepadan di dalam jiwa pembacanya, yaitu rasa birahi. Untuk menghibur. Ini bisa dilihat pada kata pengantar Hikayat Cekel Wanengpati; "Wa bihi nasta'inu billahi 'ala. Ini cerita Jawa maka diturunkan oleh orang cara Melayu..., maka dipatut dengan ceritanya yang amat indah-indah karangannya dan cinta berahi, supaya dapat akan menghiburkan hati yang amat berahi itu". Kedua, karya sastra yang dimaksud untuk mendidik dan menyempurnakan akal pembaca lewat "faedah-faedah" dan "manfaat-manfaat".  Ini bisa dilihat di "Hikayat Isma Yatim...

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-10)

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-10) (Adab para Sufi dalam membuat karya sastra) Dalam keselarasan persepsi rohani, persepsi kalbu, dan persepsi akal yang melalui saluran hingga tercipta sebuah karya, terdapat "gerakan" atau pola gerakan naik dan turun. Naik kepada Tuhan. Turun kepada para pembaca. Naik kepada atau menuju Tuhan, ini seperti bentuk rayuan kepada sang Khalik. Rayuan atau pujian yang biasanya terbentuk dan tersampaikan dalam doa-doa. Dan untuk karya sastra sufi, rayuan dan doa ini selalu mengawali di tiap karangan. Ya, rayuan, pujian, dan doa-doa ini terdapat pada setiap permulaan atau pengantar karya sastra para Sufi. Misalnya pada "Hikayat Isma Yatim". Pada kata pengantar atau kalimat pembukanya, tertulis sebagai berikut:  "Dengan takdir Allah, datang pikiran pada hati. Baiklah aku mengarang suatu hikayat akan memberi nasihat bagi segala raja supaya ada juga kurnianya akan daku. Setelah ia serta pikir demikian itu, maka Isma...

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9) (Sistem Kesusastraan Sufi Melayu) Dalam tradisi Sufi, pembentukan sistem karya sastra adalah sejumlah pemahaman tertentu tentang proses penciptaan yang "meniru" paradigma penciptaan Allah, yaitu penciptaan melalui manusia. Dalam tradisi budaya Islam manapun, tradisi sufi Melayu menganggap hanya Allah saja sebagai Pencipta sejati. Ilmu Allah mengandung ide-ide umum (ayan sabita) tentang semua benda. Kodrat-Nya sebagai Rahmat. Kemudian Rahmat-Nya menampilkan ide-ide umum tersebut sebagai benda-benda dalam alam syahadat (dunia ciptaan). Menurut Vladimir Braginsky dalam Tasawuf dan Sastera Melayu, ada dua proses dan tahapan yang dialami manusia dalam proses penciptaan tersebut. Pertama, tahap reseptif. Pada tahap ini manusia mampu menerima pancaran tenaga kreatif Allah yang menyerupai cahaya. Nur Muhammad. Ya, Nabi Muhammad adalah logos azali. Logos bisa berarti, kata, jejak, langkah, pandangan, dan ilmu. Pancaran Cahaya M...

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9) (Sistem Kesusastraan Sufi Melayu) Dalam tradisi Sufi, pembentukan sistem karya sastra adalah sejumlah pemahaman tertentu tentang proses penciptaan yang "meniru" paradigma penciptaan Allah, yaitu penciptaan melalui manusia. Dalam tradisi budaya Islam manapun, tradisi sufi Melayu menganggap hanya Allah saja sebagai Pencipta sejati. Ilmu Allah mengandung ide-ide umum (ayan sabita) tentang semua benda. Kodrat-Nya sebagai Rahmat. Kemudian Rahmat-Nya menampilkan ide-ide umum tersebut sebagai benda-benda dalam alam syahadat (dunia ciptaan). Menurut Vladimir Braginsky dalam Tasawuf dan Sastera Melayu, ada dua proses dan tahapan yang dialami manusia dalam proses penciptaan tersebut. Pertama, tahap reseptif. Pada tahap ini manusia mampu menerima pancaran tenaga kreatif Allah yang menyerupai cahaya. Nur Muhammad. Ya, Nabi Muhammad adalah logos azali. Logos bisa berarti, kata, jejak, langkah, pandangan, dan ilmu. Pancaran Cahaya M...

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-8)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-8) (Sembahyang dan Zikir sebagai alat terpenting dalam suluk) Ada dua alat terpenting yang diperlukan dalam suluk (perjalanan sufi) untuk bergerak maju, yaitu sembahyang dan zikir. Sembahyang digambarkan sebagai sejenis makhluk antropoid-antropomorfik. Dalam Hikajat Syah Mardan disebutkan sembahyang adalah takbiratul ihrom. Kepalanya ialah niat. Nyawanya ialah Al-Quran (alfatihah). Tangannya ialah tahiyat. Dan kakinya ialah salam. "Pohon" Lima sembahyang setiap hari adalah alfatihah. Seluruh sembahyang diciptakan dari huruf-huruf kata pertama alfatihah. Zohor dari alif, asar dari lam, magrib dari ha, isya dari mim, dan subuh dari dal. Seluruh sembahyang tersebut membentuk satu teks tertentu, yaitu kata "alhamdu". Dengan mendirikan sembahyang lima kali sehari satu persatu manusia akan membaca kata itu. Kelima sembahyang itu pun diselaraskan baik dengab makrokosmos maupun mikrokosmos. Zohor mengandung empat rakaat...

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-7)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-7) (Suluk) Suluk (perjalanan sufi) terdiri dari empat tahap, yaitu: syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Orang (Sufi) yang melakukan perjalan tersebut disebut salik. Nah, setelah melewati tahap terakhir "diri" salik yang telah disucikan dan diubah sepenuhnya menjadi kehilangan kesadaran diri, yaitu hapus (fana). Syamsuddin As-Samatrani menulis empat tahap suluk sebagai berikut: syariat itu kulit, tarikat itu isi, hakikat itu urat, dan makrifat itu tulang. Sementara itu Hamzah Fansuri menulis sebagai berikut: "Alam nasut jadikan syariatmu Ibadah malakut ambil akan tarikatmu Asyik jabarut pertemuan hakikatmu Fana di dalam lahut akan ma'rifatmu" Sufi Melayu menyamakan; "nasut" dengan "af'al", "malakut" dengan "asma", "jabarut" dengan "sifat", dan "lahut" dengan "Zat" Allah. Hal ini menjadikan suluk yang terdiri dari empa...

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-6)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-6) (Martabat Tujuh Dalam Tradisi Mistik Islam) Karya-karya Sufi Timur Tengah (Arab) ikut mempengaruhi karya-karya sastra Melayu klasik. Misalnya, di dalam Hikayat Radja Moeda Sjah Mardan (1916) terdapat tapak kaki manusia yang disamakan dengan Kursi Allah, tumit dengan Arsy, tulang sumsum dengan "sirath al-mustakin", perut dengan laut, tulang rusuk dengan Alam Taufik, dada dengan ka" bah, dan seterusnya. Bedanya, Karya sastra para sufi Melayu sering memperlihatkan keterhubungan alam semesta-Manusia-Tuhan dengan martabat tujuh. Tujuh peringkat Wujud. Tujuh "maqom" eksistensi jiwa. Tujuh tingkatan "nafs". Tujuh "maqom" tersebut adalah: pertama, Ahadiyat. Di tingkat ini, keesaan atau ketunggalan Tuhan belum dinyatakan dan tidak dapat dikenali oleh makhluk, oleh manusia. Kedua, wahdat. Di tingkat ini, keesaan atau ketunggalan menjadi sintetik. Menjadi sumber yang menghasilkan hal-hal lain. In...

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-5)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-5) (Kata-Kata Allah dan Penyair) Kata-kata tak jarang seolah-olah sekadar dimainkan oleh para sufi dalam permainan puitis. Padahal hakikatnya itu adalah kemampuan semantik para sufi agar dalam konteks yang sama, kata-kata puitis tersebut, dapat diartikan sebagai kata Ilahi. Fariduddin Attar dalam "Ilahi-Nama" mengatakan:"Jangan pandang hina pada kata-kata//Sebab dua alam penuh dengan satu kata belaka: kun!//Asas kedua alam itu pun tiada lain kecuali kata,//Sebab keduanya diciptakan dengan kata Kun! dan dapat dimusnahkan dengan kata "la yakun!"//Kata diturunkan oleh Allah Yang Mahakuasa,//Kata ialah kemasyhuran nabi-nabi//Muhammad, yang padanya diajukan kata Kun!//Menjadi raja pada malam isra karena kekuatan kata.//Semuanya terbatas selama belum diucapkan dalam kata,//Lauh al-mahfuz menampung segalanya karena kekuatan kata//Oleh sebab kata mendasari segala, lakukan segala dengan kata://Minta sedekah dengan kat...

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-4)

Membaca Sastra, Membaca diri: mengenal Ilahi (bag-4) (Al-Quran adalah Adi-sastra) Bagi para Sufi, Al-quran menjadi teladan kesusastraan. Yaitu sebagai perbendaharaan "intipati semula", "citra semula", dan "kesempurnaan semula". Terutama puisi. Puitika para Sufi adalah ajaran mengenai kata (kalam) "al-a'la" yang termaktub di dalam teks suci (Al-Quran) maupun di dalam puisi yang ditafsir secara simbolik itu sendiri. Sederhananya, puitika tasawuf mengaitkan Al-Quran dan sastra dengan lebih erat. Seperti Jalaluddin Rumi yang hidup di abad XIII. Rumi menggambarkan Al-Quran dengan kekasih yang berpurdah. Sebagai bentuk kejelitaan. Makna-makna yang diselubungi dengan pakaian (kata-kata). Rumi pernah menulis tentang penyair yang sempurna, sebagai berikut: "Dia mesti menyediakan meja perayaan dari sajak pujiannya agar supaya penuh dengan pelbagai hidangan. Jangan ada tamu, walau seorang pun, yang tinggal lapar. Di meja itu masing-masing sehar...